Ritual Budaya Larung Sembonyo, Moment Sakral Nelayan Pantai Prigi Trenggalek
Foto : Istimewa |
Antara di Trenggalek melaporkan, tradisi tahunan yang diselenggarakan di area Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Prigi itu berlangsung meriah.
Ribuan warga dan wisatawan datang menyaksikan prosesi larungan yang dikemas dalam tradisi budaya Jawa, mulai dari arak-arakan tumpeng di jalan raya Kota Prigi hingga masuk ke dalam komplek pelabuhan.
Tampak hadir dalam iring-iringan rombongan, Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak beserta istri artis Arumi Bachsin, Wakil Bupati Trenggalek Mochammad Nur Arifin, jajaran forum pimpinan daerah setempat serta sejumlah pejabat SKPD (satuan kerja perangkat daerah).
Prosesi larungan diiringi alunan gending-gending Jawa mulai dari kedatangan, prosesi sambutan panitia dan pimpinan daerah hingga pelepasan tumpeng raksasa dan aneka hasil bumi yang ditumpangkan di atas dua rakit buatan lalu diseret menggunakan perahu ke tengah perairan lepas Pantai Prigi berjarak sekitar dua mil dari kolam labuh.
"Penyelenggaraan Larung Sembonyo tahun ini tidak semeriah tahun lalu karena nelayan sedang mengalami musim paceklik ikan," kata Bambang Supiyat, Wakil Paguyupan Nelayan Prigi yang juga panitia acara Larung Sembonyo.
Kendati dalam situasi krisis, Bambang menegaskan tidak mengurangi kesakralan ritual Larung Sembonyo yang mereka gelar, namun ada beberapa acara hiburan yang terpaksa batal digelar, seperti pentas seni jaranan Turangga Yaksa, reog hingga pementasan hiburan musik dangdut.
"Tahun ini kami fokus pada ritual larungan saja tanpa ada pentas seni dan sebagainya sebagai bentuk rasa prihatin para nelayan," ujarnya.
Dengan kegiatan larungan tersebut, lanjut dia, nelayan berharap cuaca ekstrem dampak gelombang la nina bisa berakhir sehingga musim ikan segera tiba di akhir Agustus hingga Desember atau setelahnya.
"Beberapa hari lalu sudah ada nelayan yang melaut dan berhasil menangkap ikan hingga 15 ton. Kami berharap itu pertanda baik mulainya musim ikan," kata Bambang.
Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak berencana untuk mengembangkan tradisi Larung Sembonyo dalam kemasan yang lebih menarik dan menjadi paket wisata budaya yang bisa menarik wisatawan dalam maupun luar daerah.
"Harusnya ini bisa menjadi satu momen yang dikemas dalam kegiatan pesta seni budaya tiga hari sehingga bisa menjadi daya tarik pariwisata daerah," ujarnya.
Dengan perencanaan kegiatan yang lebih baik, berikut modifikasi berbasis kreatifitas nelayan dan warga pesisir itu, Emil mengaku optimistis pesisir Prigi tidak hanya menarik dari sisi alamnya yang indah, namun juga ada nilai sejarah-budaya yang menjadi tujuan wisatawan.
"Potensi-potensi wisata ini yang harus terus dipromosikan melalui paket pariwisata ke depan," ujarnya.
Tokoh budaya pesisir Prigi, Suparlan menceritakan, tradisi Larung Sembonyo berlangsung turun-temurun sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu.
Dalam satu hikayat terbentuknya pemukiman nelayan Prigi di pesisir selatan bagian timur Kabupaten Trenggalek itu, kisah Suparlan, diawali dari perubahan kebijakan politik pemerintahan masa Kerajaan Mataram Hindu.
Saat itu, tutur Suparlan, raja Mataram Hindu yang sebelumnya fokus pada perluasan wilayah kekuasaan ke pengembangan daerah-daerah pesisir di Jatim, mulai dari Pacitan hingga pesisir Blambangan di Banyuwangi.
"Raja yang berkuasa saat itu lalu memerintahkan Tumenggung Yudhonegoro yang dikenal sebagai ksatria berpengaruh untuk membuka kawasan-kawasan hutan di pesisir menjadi pemukiman. Bersama empat saudaranya saat itu mereka berhasil membuka kawasan pemukiman nelayan di Pacitan, lalu Munjungan, Prigi hingga Blambangan," paparnya.
Namun di tengah upaya pengembangan kawasan pesisir itu, kata Suparlan, Tumenggung Yudhonegoro sempat mengalami kesulitan masuk kawasan pesisir Prigi yang tertutup hutan dan berkabut sehingga harus melakukan ritual pertapaan bersama empat saudaranya.
"Dari ritual semedi itu Tumenggung Yudhonegoro mendapat wangsit untuk menikahi Ratu Ambar Ireng yang tinggal di satu wilayah pesisir Prigi. Petunjuk itu dilaksanakan lalu digelar pesta pernikahan pada hari Senin bulan Selo dalam penanggalan Jawa selama 40 hari 40 malam yang diakhiri dengan ritual sedekah bumi atau Larung Sembonyo," paparnya.(*)
Sumber : antarajatim.com
Post a Comment