Mengintip Tradisi Lempar & Berebut Kepala Kerbau Pada Bersih Desa Dam Bagong Trenggalek
Foto : Istimewa |
Larung Ndas (kepala) Kebo (Kerbau), tradisi yang tidak bisa ditinggalkan dalam kegiatan Bersih Desa Dam Bagong. Tujuan utama diadakannya tradisi ini sebenarnya perwujudan rasa syukur masyarakat Desa Ngantru maupun petani yang teraliri Dam Bagong. Berkat rasa syukur inilah lahan sawah petani dapat tumbuh subur.
Tradisi yang di ilhami dari hikayat proses terbangunnya Dam Bagong ini, erat dikaitkan dengan peristiwa klenik yang berkembang di masyarakat. Warga maupun petani disepanjang aliran sungai Bagongan meyakini akan timbul bencana besar bila tradisi ini tidak dilaksanakan. Tradisi ini diawali penyebaran agama Islam di Trenggalek.
Konon cerita yang berkembang kala itu, ada seorang Putri Kerjaan Majapahit bernama Roro Amiswati harus diasingkan dan dititipkan kepada Ki Ageng Galek atau Mbah Kawak karena memiliki luka yang menimbulkan bau amis atau anyir. Ada yang menterjemahkan hal ini, Roro Amiswati diasingkan karena dirinya memeluk agama Islam, padahal Majapahit kala itu beragama Hindu dan Buda.
Singkat cerita untuk menghilangkan bau anyir ini Amiswati berendam di sungai Bagongan. Disinilah awal cerita dimulai, ketika berendam, Amis Wati ditolong Menak Srabah dengan seekor Buaya putih dan sembuh dari penyakitnya. Akhirnya keduanya menikah.
Sebelum pernikahan, Menak Srabah mengajukan beberapa syarat diantaranya Roro Amiswati dilarang mengeluarkan aurat ketika matahari tenggelam. Tidak berselang lama menikah Roro Amis Wati hamil.
Namun seiring berjalannya waktu Roro Amis Wati mengingkari perjanjian yang telah disepakati. Dirinya membuka baju ketika matahari tenggelam. Sontak hal ini membuat Menak Srabah berubah wujud menjadi seekor buaya putih.
Dalam peristiwa ini ada yang menterjemahkan bahwasanya Menak Srabah sedang menjalankan Sholat Magrib kala itu. Mengetahui suaminya beragama Islam Roro Amiswati kembali ke Majapahit. Menak Srabah berpesan bila si jabang bayi ini lahir nantinya diminta mencari bapaknya di Kedung Bagongan.
Akhirnya lahirlah bayi Menak Srabah dan diberi nama Menak Sopal. Beranjak dewasa Menaksopal menanyakan dimana bapaknya, dan menyusul ke kedung Bagongan.
Singkat cerita kala itu Trenggalek merupakan daerah kering atau tadah hujan sehingga kesulitan air ketika musim kemarau. Untuk menolong warga masyarakat di Trenggalek Menaksopal bersemedi di kedung Bagongan. Menaksopal menemukan wangsit untuk membangun Dam di Mbagongan Ngantru.
Dapatkan wangsit ini beranjaklah menaksopal membangun bendungan di kedung Bagongan, namun upaya ini selalu tidak berhasil karena dihalang halangi siluman buaya putih yang tidak lain adalah Menak Srabah bapaknya.
Satu syarat untuk bisa mewujudkan bangunan ini harus ditumbali dengan kepala gajah putih. Menindak lanjuti hal ini Menaksopal meminjam Gajah putih kesayangan Mbok Roro Krandon. Menaksopal kemudian menyembelih gajah ini dan dijadikan tumbal Dam Bagong, yang saat ini dijadikan rujukan warga masyarakat untuk melakukan hal yang sama melarung kepala kerbau setiap Jum'at Kliwon di Bulan Selo.
Ada yang mengartikan Gajah merupakan simbol agama Hindu. Disembelihnya Gajah putih ini merupakan simbolis bergantinya peradapan Hindu Budha di Trenggalek yang beralih ke Agama Islam. Sedangkan Mbok Roro Krandon merupakan tokoh Hindu yang sangat berpengaruh dan berhasil di Islamkan Menak Sopal.
Banyak versi cerita Menaksopal ini, yang bisa menjadi referensi banyak masyarakat yang ingin menyimaknya.
Sumber : Humas Pemkab Trenggalek
Post a Comment